Saturday 15 November 2014

Rumah Gadang di Pariaman



Di Padang dan Pariaman banyak rumah yang beratap yang seperti tanduk kerbau,
disebutnya Rumah Bagonjong (Atap Bagonjong)
Hampir semua gedung pemerintahan di Padang atap nya Bagonjong 


Ini adalah rumah nenek saya  (dari pihak ayah) di Kampung Perak Pariaman, yang dibangun kembali dan dirawat oleh cucu dari kakak perempuan ayah saya (anak dari sepupu saya).  Hingga sekarang anak perempuan dari sepupu saya  masih tinggal di rumah gadang yang memiliki  atap Bagonjong dengan design yang modern.  Ayah saya yang dilahirkan th 1908 dirumah ini, tentu situasinya lain dan masih rumah lama.

Rumah gadang ayah saya  di Pariaman terkenal dan mudah untuk mencarinya. Hal ini karena rumah gadang  ini juga rumah gadang Prof. Harun Zain (alm) yang pernah menjabat sebagai menteri dan Gubernur Sumatra Barat. Prof Harun Zain juga pernah mendapatkan gelar Datuk Purbe Jase dari Kerajaan Negeri Sembilan. Ibu Prof Harun Zan, Siti Murin adalah kakak kandung ayah saya, Sutan Iskandar Abidin.  

Istilah  Rumah Gadang di Minangkabau adalah rumah keluarga. Rumah ini disebut juga "Pusako Tinggi" biasanya dimiliki sejak zaman dahulu dan tidak boleh di jual. Yang tinggal di 'Rumah Gadang' adalah anak2 perempuan. Zaman dahulu anak lelaki sebelum menikah tinggal di surau, setelah menikah tinggal dirumah istrinya. Tetapi rumah ibunya adalah  "Rumah Gadang" nya. (Kecuali ketika mereka mempunyai rumah sendiri, rumah yang dibeli hasil pencaharian sendiri bukan lagi rumah pusaka tinggi, disebut pusaka rendah. menjadi milik anak2nya semua kelak,  sesuai dengan hukum waris dalam islam) 

Kedua orang tua saya, yang berasal dari Pariaman  merantau ke Jakarta dan Jawa Barat sejak tahun 1920an dan jarang pulang kampung. Saya yang lahir dan besar di Bogor, sedari kecil jarang pulang kampung pula.  Istilah nya kami ini  "merantau cino" istilah untuk orang yang tidak pernah pulang kampung. 

Setelah dewasa saya beberapa kali ketika mengadakanperjalanan ke Sumbar, saya usahakan untuk mampir ke "rumah gadang" ayah saya. Walau hanya singgah  sekejap saja.  

Beberapa waktu lalu (bulan november 2014) saya bermalam beberapa hari di rumah gadang ayah saya, berjumpa dengan saudara sekandung dari generasi yang berbeda (generasi keponakan) tetapi tetap terasa punya kesamaan selera, dan kesamaan sifat "doyan maota/ngoceh2" karena umur yang tak jauh berbeda. Persaudaraan yang kental sangat terasa. Ngobrol tak henti-henti jadilah saya di panggil si "mande kanduang" (tante kandung)

Ibu saya juga asli dari Pariaman,  nenek serta kakek dari pihak ibu saya merantau mengikuti anaknya (ibu saya)  dan tidak pernah kembali ke kampung yang kini sudah menjadi kota kecil yang ramai. Sehingga ketika saya ingin mengunjungi rumah gadang ibu saya (yang sebenarnya inilah rumah gadang saya). Ternyata rumah itu sudah tak ada. 

Beberapa puluh tahun lalu ketika kakak saya kesana dikatakan rumah itu masih ada. Kabarnya kini rumah itu sudah kena gempa beberapa tahun lalu, dan tapaknya tak tentu pula karena sudah banyak tempat2 orang berjualan disekitar situ. 

Saudara dekat ibu saya pun banyak yang merantau sejak 60th yang lalu dan jarang balik kampung. Sehingga banyak yang sudah tidak mengenal orang tua maupun kerabat dekat ibu saya. 

Sedih memang tapi tak apa...saya masih terhibur dengan saudara2 dari pihak ayah saya yang sangat banyak dan termasuk orang2 yang berhasil dan terpandang di Pariaman dan mereka "welcome" sekali. Begitu juga saudara dari pihak mertua saya yang  asli orang Pariaman dan sangat terpandang, yaitu keluarga bangsawan turunan puti2 yang depan rumah gadang (rumah gadang suami saya) masih ada meriam lambang kejayaan masa lalu. 



No comments:

Post a Comment