Dimuat di koran Haluan tgl 17 Maret 2012 yang terbit di Padang Sumatra Barat...
Pengertian konsep Nusantara bagi kebanyakan orang Indonesia
mempunyai arti negara Indonesia, akan tetapi bagi masyarakat international yang
disebut Nusantara adalah mencakup Indonesia, Singapura, Malaysia,
Brunei Darussalam serta Pilipina Selatan dan Thailand Selatan dimana
bangsa Melayu menetap seperti yang ditulis pada Ensiklopedia Sejarah
dan Kebudayaan Melayu yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia Kuala Lumpur 1998.
Penyumbang tulisan untuk ensiklopedia ini selain para cendekia,
profesor dan budayawan dari Malaysia juga dari Singapore dan Indonesia
di antaranya H.B Jassin, A.A Navis dan beberapa pensyarah/dosen serta
profesor dari beberapa Universitas Negeri di Indonesia.
Dalam Ensiklopedia tersebut tertulis: Nusantara boleh dimengerti
dari sudut geografi, etnik, politik, budaya dan ideologi. Dari sudut
geografi, Nusantara terdiri daripada rantau yang luas dan memanjang
dari Indochina (selatan Vietnam dan Kemboja), menurun melalui
Segenting Kra hinggalah selatan Burma dan Semenanjung Tanah Melayu
termasuk Temasik (kini Singapura). Kawasan ini boleh disebut sebagai
Nusantara bahagian utara atau Dunia Melayu di utara. Ke arah selatan
pula (boleh disebut sebagai Dunia Melayu di selatan), terdiri daripada
wilayah kepulauan yang dipisahkan oleh laut dan selat. Ke arah tenggara,
kawasan ini terdiri daripada Pulau Kalimantan dan Kepulauan Philipina
di Laut China Selatan, manakala di barat daya dan selatan merentasi
Selat Melaka terdapat Kepualuan Indonesia.
Dalam sejarah Indonesia juga disebutkan bahwa Patih Gajah Mada
terkenal dengan “Sumpah Palapa” yaitu Sumpah Patih Gajah Mada yang
berkeinginan memersatukan Nusantara. Yang dimaksud Nusantara oleh Patih
Gajah Mada pada saat itu tentu saja bukan hanya wilayah dari Sabang
sampai Merauke.
Sejak ratusan tahun lalu warga yang bermukim di Nusantara saling
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Diantaranya dari Sulawesi,
Kalimantan, Sumatra dan Jawa, dan lain-lain (sekarang wilayah itu
disebut Indonesia) banyak yang merantau/berpindah ke tanah semenanjung
yang sekarang dikenal Malaysia dan kini keturunannya, yang tetap
mengamalkan budaya turun temurun dan tetap merasa menjadi orang Melayu
Banjar, Melayu Minang dan Melayu Jawa dan tentu saja berkewarganegaraan
Malaysia.
Di Negeri Sembilan (salah satu negeri/provinsi di Malaysia)
penduduknya berasal dari Minangkabau Sumatra Barat yang berpindah sudah
sejak permulaan abad ke-14. Kemudian berlakulah pernikahan antara
perantau dari Minang dengan penduduk setempat dan keturunannya disebut
suku Biduanda. Dan pada abad ke-17 anak raja Minangkabau dari
Pagarruyung, Raja Melewar datang ke Negeri Sembilan untuk memerintah di
Negeri yang hingga kini penduduknya masih mengamalkan budaya
Minangkabau dan Raja di Negeri Sembilan sekarang adalah keturunan dari
Raja Melewar.
Di Melaka ada sebuah kampung, namanya Kampung Bukit Nibong yang
penduduknya keturunan perantau dari Jawa yang datang ke Melaka sekitar
tahun 1900-an dari Pacitan. Kabupaten Pacitan terletak di ujung barat
daya Provinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten
Ponorogo di sebelah Utara. Menurut warga di Kampung Bukit Nibong
banyak juga warga keturunan dari kabupaten Ponorogo di Johor yang sudah
menetap di sana ratusan tahun.
Saya pernah diundang untuk menghadiri perayaan Israq Mikraj di Masjid
Kampung Bukit Nibong, dan saya diundang pula saat diadakan Kenduri
Nasi Ambeng yang cukup meriah karena mengundang masyarakat dari
kampung sekitarnya dan dihadiri oleh Raja Melaka (TYT) dan Gubernur
Melaka (Ketua Menteri).
Ketika pertama kali tiba di Kampung Bukit Nibong untuk menghadiri
perayaan Israq Mikraj saya sangat terkejut karena di pintu gerbang
perkampungan, yang penduduknya 95 persen adalah masyarakat Jawa
keturunan Pacitan ini, disambut dengan gapura yang bertuliskan bahasa
Jawa, “Sugeng Rawoh” yang artinya selamat datang. Warga di sini masih
mengamalkan budaya Jawa, masih menggunakan bahasa Jawa ketika
bercakap-cakap dalam kesehariannya antara anak dan orang tua mereka yang
sudah sepuh, yang lahir di Pacitan. Dan makanan yang mereka masak
adalah masakan Jawa.
Setelah salat Magrib di masjid yang berukuran sedang dan dilengkapi
AC ini, beberapa warga kampung sibuk menyiapkan masakan Sego Udok yang
dilengkapi dengan “Jangan Lombok” dan “Ayam Inkung” yang diletakkan
dengan nampan yang beralaskan dan ditutup daun pisang.
“Sego Udok” dalam bahasa Indonesia disebut “Nasi Udok” yang rasa dan
bentuknya mirip dengan nasi uduk di Jakarta atau nasi lemak di Malaysia.
“Jangan Lombok” secarah harfiah berarti Sayur Lombok tetapi tentu saja
bukan sayur yang isinya hanya cabai atau lombok saja. Tetapi campuran
antara tahu, tempe, kacang panjang dan irisan cabai hijau dan cabai
merah yang sangat banyak sehingga terasa pedas dan dimasak dengan santan
dan berbagai bumbu seperti bawang merah, bawang putih, kemiri,
lengkuas, daun salam dan lainnya sehingga terasa gurih. Ada yang
menambahkan udang ada pula yang menambahkan jeroan seperti hati, babat
atau paru pada masakan “Jangan Lombok” ini. Dan Ayam lingkung adalah
ayam yang dimasak dan disajikan utuh yang dipadu dengan bumbu-bumbu
yang mempunyai kenikmatan tersendiri.
Masakan yang pedas, gurih dan mengundang selera ini dibuat secara
berkelompok. Beberapa kelompok keluarga membuat masakan tradisional
ini dan setiap kelompok membuat satu nampan dan dibawa ke masjid dan
dikumpulkan. Yang datang ke masjid pada waktu itu hampir semua
bapak-bapak dan anak laki-laki, hanya beberapa ibu-ibu yang hadir pada
saat itu.
Selepas Isya masih ada bacaan doa dan ceramah agama yang disampaikan
ketua kampung. Setelah itu barulah Sego Udok dengan Jangan Lombok dan
ayam Ingkung dibagi-bagi lagi untuk dibawa pulang ke rumah, jadi tidak
dimakan disana. Satu kelompok keluarga memasak nasi Udok lengkap dengan
Jangan Lombok dan Ayam Ingkung. Kelompook lain juga memasak menu yang
sama tetapi tentu rasa setiap dari air tangan akan berbeda. Kemudian
mereka saling membawa pulang masakan dari kelompok lainnya. Bertukar
masakan yang sama.
Beberapa hari kemudian pada saat ada perayaan Kenduri Nasi Ambeng
saya juga diundang dan datang. Program yang bertema Merakyatkan Seni
Budaya yang diadakan pada tanggal 1 July 2011 mengundang warga kampung
sekitarnya dan dihadiri sekitar 2000 orang. Pada acara ini warga tidak
menggunakan jasa katering tetapi mereka bekerja secara gotong royong
memasak dalam menyiapkan segalanya bersama.
Acara yang cukup meriah yang diselenggarakan oleh warga setempat dan
bekerja sama dengan Jabatan Kebudayaan dan Kesenian Melaka ini dihadiri
oleh TYT Tun Datuk Seri Utama Mohd Khalil Bin Yaakob, Yang Di-Pertua
Negeri Melaka beserta istri, YABhg Toh Puan Datuk Seri Utama Dato’
Zurina binti Kassim. Hadir pula YAB Datuk Seri Hj Mohd Ali Bin Mohd
Rustam, Ketua Menteri Melaka.
Melaka setingkat dengan provinsi dalam bahasa Malaysia disebut
Negeri Melaka dan ketua pemerintahannya disebut Ketua Menteri.
Sedangkan Raja Melaka disebut TYT, dan TYT bukanlah keturunan dari
Sultan sebelumnya seperti negeri-negeri lainnya tetapi
dipilih/ditugaskan dan anaknya belum tentu menjadi Raja Melaka/TYT. TYT
kependekan Tuan Yang Terutama dan singkatannya dibaca sesuai dengan
ejaan bahasa Inggris [ti-why-ti], tidak seperti raja-raja di
Negeri lain disebut Sultan Selangor, Sultan Kedah, Sultan Perak dan
Sultan ini adalah keturunan dari Sultan sebelumnya.
Hal ini karena Sultan terakhir di Melaka, Sultan Mahmud Shah
(1428-1528) yang kekuasaannya direbut oleh Portugis pada tahun 1511,
melarikan diri ke Muar di Johor dan salah satu anaknya, Raja Kassim
dinobatkan menjadi Raja Perak pertama (salah satu negeri di Malaysia).
Ironis memang tanah dan tempat di mana Kesultanan Melayu bermula, kini
tidak memiliki Sultan.
Pada saat Kenduri nasi Ambeng ini TYT dan Ketua Mentri menggunakan
blankon yang diserahkan oleh seorang warga yang berperan sebagai Ki
Lengger. Lengger-Calung sebenarnya adalah nama tarian yang berkembang
di wilayah banyumas dan penarinya disebut Lengger. Karena pada saat
sebelum menyampaikan blankon ini dipertunjukkan gerakan-gerakan
seperti tengah menari sehingga pria ini sering disebut Ki Lengger.
Selain itu acara dimeriahkan dengan pameran masakan Jawa yang mereka
masak diantaranya adalah: rujak bebek (bukan rujak itik) yaitu campuran
buah-buahan di antaranya jambu biji/jambu klutuk, bangkuang,
kendondong dan lain-lain diberi gula merah dan cabai rawit dan
ditumbuk/dibebek dan terasa pedas; getuk gula abang, (penganan dari
singkong) tiwul (bahan dasar dari singkong) sego uduk, (nasi uduk)
pecel, (sayur-sayuran yang direbus yang disiram kacang tanah yang
digoreng dan dihaluskan) rondo royal, (tapai goreng) bubur abang (bubur
merah). Gemunak (penganan dari singkong dan ketan) krawon, di
minangkabau biasa disebut anyang, rebusan sayur yang diberi parutan
kelapa. Selain itu dipamerkan juga peralatan yang dipakai ketika mereka
datang pertama kali ke Melaka yang kala itu masih dalam keadaan hutan
yaitu gergaji panjang, alu serta lumpang, keris dll yang sekarang
nampaknya jarang dipakai karena kebanyakan penduduk kampung ini
(anak-anak dari perantau) telah berpendidikan dan bekerja di sektor
pemerintahan atau sektor industri.
Sambil menikmati hiburan di panggung para hadirin menikmati Nasi
Ambeng yang disediakan dengan nampan dialasi daun pisang. Dalam nampan
berisi nasi putih, jangan lombok, serundeng, terung dan ayam goreng.
Satu nampan dimakan bersama sama sekitar 4 atau 5 orang dengan
menggunakan tangan, tidak menggunakan sendok.
Begitulah kebudayaan Indonesia hidup dan dihargai di Malaysia, dan
itu saya lihat langsung dengan mata kepala saya sendiri. Yang
menghidupkan budaya Indonesia itu bukan orang Malaysia, melainkan
orang Indonesia (Jawa, Minang, Bugis, Batak, dll) yang merantau di
negeri jiran itu. Jadi sangat keliru saya kira bila ada produk-produk
budaya Indonesia dikatakan “dirampas” oleh Malaysia seperti pemberitaan sejumlah
media yang cenderung sepihak dan tentu saja itu memecahbelah hubungan
baik Indonesia-Malaysia sebagai negeri serumpun yang penduduknya
mayoritas muslim.
Perekat Budaya
Temu Sastrawan Nusantara Melayu Raya (TSN) di Padang pada 16-18
Maret 2012 mendatang, hendaknya diharapkan dapat merekatkan hubungan
baik ini kembali dengan mengedepankan konsep silaturahim yang tentu
saja akan menguntungkan kedua belah pihak, Indonesia-Malaysia. Konon
lagi, peserta TSN sepengetahuan saya didominasi oleh
sastrawan-sastrawan dan penulis muda Indonesia yang tentu lebih arif
dan bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan khususnya terkait
kebudayaan.
LILY SITI MULTATULIANA
di harian "Melaka Hari Ini" yang terbit di Melaka Malaysia
foto foto lenkap disini
No comments:
Post a Comment